Kamis, 28 Mei 2009

FI3@NI T@URUS

Nama : FITRIANI
Kelas : XI IPA 3
Sekolah : SMA PINTAR Kabupaten kuantan singingi
GBS : Ronaldo Rozalino S.sn
Art Of Culture

Posted by admin

Wilayah nusantara terdiri dari berbagai daerah/suku budaya, sehingga kaya akan keragaman seni musik. Musik nusantara sering diidentikkan dengan musik tradisional, sedangkan musik modern berasal dari Barat. Apakah nusantara tidak memiliki musik modern? Seiring dengan perkembangan jaman yang telah mengglobal, seni musik nusantara pun berinteraksi dan dapat pengaruh dari unsur-unsur musik Barat dan lahirlah musik-musik modern nusantara.
Pada umumnya, kaum muda saat ini lebih mengenal musik modern daripada musik tradisional/daerah. Hal ini dapat kita lihat pada setiap konser musik modern selalu dipadati oleh kaum muda dan juga kalau kita perhatikan media musik di HP/komputer kaum muda maka hampir 99,99% adalah album musik modern.
Musik modern nusantara dapat dekelompokkan ke dalam beberapa jenis, antara lain:
1. Dangdut, ciri-cirinya: melodi dan harmoni sederhana, tangga nada cendrung minor, ekspresi berdasarkan keserasian lirik, beat konstan, lebih menekankan keindahan gerak.
2. Pop, ciri-cirinya: melodi mudah diterapkan dengan berbagai karakter lirik, fleksibel dan mudah dipadukan dengan dengan jenis lain, lagu mudah disenandungkan dan mudah dipahami, harmoni tidak rumit, tempo bervariasi.
3. Balada, ciri-cirinya: mirip dengan pop, tempo lambat dan sedang, pola melodi bervariasi, lirik ekspresif, mengisahkan suka duka kehidupan.
4. Rock, ciri-cirinya: area nada luas, kekuatan terletak pada dinamika aransemen, lagu sulit disenandungkan, lirik lagu ekspresif, beat cendrung keras, tempo lambat/cepat, harmoni sangat rumit.
Berikut ini beberapa contoh musik modern:
1. sebelum-cahaya-letto
2. Hitamku-Andra TB
3. Kau Curi-J Rocks


One Response to “MUSIK MODERN”

Refleksi Hari Puisi Indonesia
Upaya Desakralisasi Puisi

Kita semua (para penyair, sastrawan dan budayawan) sudah sepatutnya menampilkan tokoh para pejuang dalam mempertahankan bangsa dengan sastra, seperti Chairil Anwar. Reflesksi puisi ini mengingat 60 tahun tiadanya penyair Indonesia (Chairil Anwar) yang meninggal pada 28 April 1949. Artinya kita juga menyuncoh beliau dan bagaimana puisi saat ini membumi, harus dikembalikan kepada masyarakat, tidak hanya dinikmati oleh kalangan elite, apalagi kalangan akademis.
Mengatakan patut karena menurut Saut Situmorang bahwa Chairil Anwar merupakan mata kanan sastra Indonesia, sedangkan mata kirinya adalah Pramodya Ananto Toer, jadi sudah lengkap sastra Indonesia memiliki sepasang mata, yang dikenal luas oleh masyarakat sastra dunia. Kita sebagai pemudah sastra tentunya harus memulai mencari mata kanan dan mata kiri, artinya siapa penerus Chairil Anwar dan Pram selanjutnya.
Di kala kita menulis puisi maka yang ada kita menjadi seorang penyair, agaknya masalah yang menghadang bukan lagi menjadi sebatas biasa, tapi merupakan proses penciptaan belaka. Artinya penyair tidak menyombongkan diri sebagai seorang yang luar biasa bukan suatu hal yang dapat diminimalisir sedemikian rupa, tapi paling tidak membagi dan memberi kepada masyarakat. Sebab menjadi mustahil ketika ditanya mengapa menulis sajak hanya dengan menyatakan “karena memang ingin menulis, itu saja tidak lebih”. Kata-kata Chairil Anwar “yang bukan penyair tak ikut ambil bagian” dan adagium Sutardji “mereka sekedar penyair…aku bukan penyair sekedar”, dengan demikian, sepertinya relevan dengan konteks refleksi saat ini.
Melihat permasalahan dalam membumikan sastra dalam kehidupan para penyair di sini, seperti juga halnya dengan keadaan di tanah air atau di manapun bahwa untuk menjadi penyair diperlukan tekad penuh. Ia bukanlah profesi yang ringan dan bukan pula profesi sambil lalu. Tapi alangkah sunyinya kehidupan kita tanpa penyair. Alangkah sunyinya hidup jika tanpa musik, drama, tari dan lain-lain bentuk sastra. Akankah manusia menjadi benar-benar manusiawi tanpa sastra? Uang memang raja dewasa ini, dan para sastrawan juga bertarung melawan jari-jarinya beracun yang ingin menghancurkan kedaulatan “republik merdeka” sastra. Tentunya ada yang kala dan menang. Dan kita harus tetap bertanya kepada Tanya itu sendiri.
Kita sadar bahwa puisi adalah sebuah pesta atau “perayaan” dari realitas. Maka kita sudah saatnya mengangkat derajat puisi kepermukaan sebagai lahan dan ruang istimewa untuk kita pesta sebagaimana demokrasi juga dipestakan di ruang istimewa. Mereka (Chairil Anwar, Rendra, Mangunwijaya dan Pramoedya) adalah contoh pahlawan-pahlawan bangsa serta menjadi semangat zaman (spirit of the time). Seharusnya sastra kita menjadi saksi mata, dari berbagai masalah yang dihadapi bangsa. Realitas itu berlangsung dipermukaan maupun di bawah sana. Dalam sastra yang sejak kelahiranya selalu mencoba membebaskan dirinya dari apa pun. Dalam apresiasi sastra suatu fenomena yang mengandung kenyataan bahwa publik sastra dengan kepribadian individualnya masing-masing karena sentuhan dengan karya penyair telah memperoleh stimulus untuk melahirkan imajinasinya sendiri sebagai bagian mutlak dari suatu proses kreatif dalam dunia sastra.
Sangat naïf jika dunia kepenyairan hanya sebatas pada pencarian dan penemuan bentuk nilai artistik yang selenjutnya diekspresikan dalam verbalisasi sebuah sajak dari keseluruhan proses pencarian yang dilakukan penyair di setiap kemungkinan penciptaan. Penyair selalu berusaha untuk lebih jauh kompleksitas dan sulit dari sekedar itu. Penyair pastilah sadar dan menyadari kemudian menjadi kesadaran penuh bahwa dia tidak sendang bekerja menjalankan tradisi tulis-menulis sajak. Dalam kesadarannya yang penuh, keterlibatannya yang mentok melihat kehidupan dan momen puitik bagi penyair merupakan sebuah mata yang mustahil untuk melihat dan ditinggalkan. Itulah mengapa sajak sebagai salah satu semangat kesusastraan yang selalu hampir terkait dengan tercapainya keheningan di tengah sebuah Tanya di ladang sunyi.
Dengan memutuskan menjadi Chairil Anwar akan juga berarti berani menjadi seoarang yang senantiasa sadar akan semangat apa yang menjadi roh sajak-sajaknya, apa yang dieksplorasinya, apa yang menjadi tujuanya, dan bagaimana relevansi karya-karyanya itu dalam konteks kemewaktuan yang sekiranya dapat lahir dan memiliki efek luas.
Kematangan dalam mengelola, mengurai gagasan dan kejelasan yang tercakup dalam puisi penyair merupakan suatu hal yang spesifik bagi dirinya sendiri. Bagi penyair yang telah memiliki tempat, ia selalu tampil dengan keutuhan ekspresi dalam setiap karyanya. Karena faktor kesadarannya yang terkendali, gaya sebagai ciri dirinya akan juga bersentuhan dengan diri kolektif yang telah dihayati dan ikut mengkondisikannya.
Kesadaran apakah yang ada di balik sajak-sajak Chairil merupakan faktor yang sangat penting untuk disingkap dalam rangka menetapkan warna dasar eksistensial sajak-sajaknya secara keseluruhan. Upaya ini pada gilirannya akan mengarahkan kita dalam memberikan penilaian jifak sajak memang harus dinilai dan tidak sekedar dinikmati menjadi proporsional di dalamnya.
Dengan merefleksikan hari puisi Indonesia ini untuk menunjukkan bahwa bagi Chairil Anwar kesadaran untuk mengintegrasi dan berpartisipasi dengan realitas merupakan visi utama sekaligus bahasa sajak dan kepenyairannya. Hakikat realitas yang dituju dapat terengkuh dan melalui jembatan Chairil mencoba membagi dengan para pembaca sajak-sajaknya. Kepenyairan Chairil telah memberi ruang sunyi dan memberikan keheningan bagi panyair, keheningan yang bersifat sosial-religius-humanis. Oleh karena itu, reflesksi ini menjadi mungkin untuk dijadikan bahan awal kita selenjutnya.

0 Comments:

Post a Comment